Oleh: KH. Syamsul Yakin
Waketum MUI Kota Depok
Rasa dengki dapat menimbulkan kekafiran. Atau motif bagi kekafiran itu adalah rasa dengki.
Hal ini bisa dibaca dalam makna ayat, “Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya” (QS. al-Baqarah/2: 90).
Dalam pandangan Syaikh Nawawi, seperti tertulis dalam kitab Tafsir Munir, rasa dengki itu dikarenakan Allah memilih Nabi Muhammad sebagai nabi. Padahal mereka menunggu-nunggu nabi berikutnya dari kalangan mereka (Bani Israil).
Inilah yang membuat mereka dengki hingga mereka rela menukar diri mereka dengan kekafiran ketimbang beriman kepada Nabi Muhammad dan al-Qur’an. Tak pelak ayat ini, kata penulis kitab Tafsir Jalalain, didahului kata kerja “bi’sa” yang dikhususkan untuk celaan.
Bagi Ibnu Katsir, sebagaimana terungkap dalam tafsirnya, tidak ada kedengkian yang lebih dari yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Saking dengkinya kepada Nabi Muhammad mereka rela menukar perkara yang hak dengan perkara yang batil. Mereka juga menyembunyikan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dan mereka tidak mau menjelaskan yang sebenarnya. Sekali lagi karena rasa dengki.
Akibatnya, tulis Syaikh Nawawi, mereka pantas mendapat kemurkaan setelah kemurkaan yang lain karena perbuatan mereka.
Secara tegas, pada penggal ayat berikutnya, Allah berfirman, “Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan” (QS. al-Baqarah/2: 90).
Menurut Ibnu Katsir mereka mendapat kemurkaan sesudah mendapat kemurkaan karena mereka menyia-nyiakan Taurat dan ingkar terhadap Nabi Muhammad. Di samping mereka juga kufur terhadap Injil dan Nabi Isa.
Dari semua informasi di atas dapat dipahami bahwa setting sosio-historis orang-orang Yahudi yang dibicarakan dalam ayat ini adalah mereka yang hidup pada masa Nabi Muhammad yang tinggal di Madinah.
Azab yang diterima oleh mereka berbeda dengan azab bagi orang-orang durhaka. Menurut Syaikh Nawawi, azab bagi mereka adalah azab yang keras. Sementara azab bagi orang-orang durhaka dimaksudkan untuk mencuci dosa.
Inilah kiranya yang dimaksud dengan frasa “azab yang menghinakan” itu. Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa penyebab kehinaan yang mereka alami adalah akibat rasa dengki. Rasa dengki itu muncul karena rasa takabur yang bergemuruh di hati mereka.*